Minggu, 27 November 2011

ORGANISASI SOSIAL


Latar Belakang
Manusia adalah makhluk social   yang  saling   membutuhkan satu   sama lain. Tentunya  manusia memiliki tujuan dalam  hidupnya.  Untuk memenuhi  tujuan  itu,  manusia  melakukan  berbagai   macam cara. Salah satunya adalah membentuk organisasi-organisasi.Di sekitar kita terdapat banyak  sekali organisasi, baik itu organisasi resmi maupun organisasi  sosial.  Berbagai  macam  organisasi  itu  dibentuk tentunya untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya.

Keberadaan organisasi sosial tidak lepas dari adanya nilai dan norma dalam masyarakat. Di mana nilai merupakan sesuatu yang baik, dicita- citakan, dan dianggap penting oleh masyarakat. Oleh karenanya, untuk mewujudkan nilai sosial, masyarakat menciptakan aturan-aturan yang tegas yang disebut norma sosial. Nilai dan norma inilah yang membatasi setiap perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sekumpulan norma akan membentuk suatu sistem norma. Inilah awalnya lembaga sosial terbentuk. Sekumpulan nilai dan norma yang telah mengalami proses institutionalization menghasilkan lembaga sosial.
Para ilmuan sosial hingga saat ini masih berdiskusi tentang penggunaan istilah yang berhubugnan dengan ”seperangkat aturan/ norma yang berfungsi untuk anggota masyarakatnya”. Istilah untuk menyebutkan seperangkat aturan/ norma yang berfungsi untuk anggota masyarakatnya itu, terdapat dua istilah yang digunakan, yaitu ”social institution” dan ”lembaga kemasyarakatan”. Mana yang benar? Tentu semunya tidak ada yang salah, semuanya benar. Hanya saja ada perbedaan penekanannya. Mereka yang menggunakan istilah ”social institution” pada umumnya adalah para antropolog, dengan menekankan sistem nilai-nya. Sedangkan pada sosiolog, pada umumnya menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan atau yang dikenal dengan istilah lembaga sosial, dengan menekankan sistem norma yang memiliki bentuk dan sekaligus abstrak. Pada tulisan ini, akan digunakan istilah lembaga sosial dengan tujuan untuk mempermudah tingkat pemahaman dan sekaligus merujuk pada kurikulum sosiologi yang berlaku saat ini.
Pada awalnya lembaga sosial terbentuk dari norma-norma yang dianggap penting dalam hidup bermasyarakatan. Terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan , kemudian timbul aturan-aturan yang disebut dengan norma kemasyarakatan. Lembaga sosial sering juga dikatakan sebagai sebagai Pranata sosial.
Masalah
                Pada lembaga social sekarang, ada beberapa masalah yang bisa dikatakan masih belum bisa untuk mengatasinya, yaitu adalah masalah kemiskinan. Kenapa sih di negate kita di Indonesia belum bisa mengatasi masalah kemiskinan, padahal Negara tercinta kita Indonesia adalah Negara kaya yang mampu untuk mensejahterakan semua rakyat di Indonesia. Dalam masalah kali ini, kita akan menjelaskan peran Organisasi Zakat dalam pembagian Zakat terhadap masyarakat dan organisasi termasuk dalam upaya untuk memperkecil angka kemiskinan di Negara kita Indonesia.
Zakat memang digadang-gadang sebagai instrumen mengatasi kemiskinan yang melanda dunia. Keyakinan bahkan sejarah telah membuktikannya. Cita-cita ini memang bukan tanpa bukti. Berdasarkan data dari IDB (Islamic Development Bank) yang dilansir tahun 2010 ini potensi zakat mencapai 600 triliun per tahun. Hanya saja potensi ini belum bisa dioptimalkan. Harus ada langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Dalam acara World Zakat Forum yang digelar pada 29 September-1 Nopember 2010 yang dihelat di Yogyakarta banyak pemikiran segar muncul.
Landasan Teori

Organisasi adalah sekelompok individu yang berkumpul dalam suatu wadah untuk mencapai tujuan yang sama ,organisasi itu sebuah wadah yang menampung aspirasi ,cita cita ,harapan orang-orang. Organisasi memiliki karakter tersendiri, jati diri, sejarah, kisah, suka, sedih, cita-cita,aspiras harapan orang banyak .Sebenarnya bagi orang dewasa sudah tidak awam dengan yang namanya organisasi ,dari sd ,smp ,rt,rw,dan bahkan lingkungan keluarga bisa di sebut organisasi.
Organisasi bisa juga disebut kumpulan orang-orang yang memiliki kesamaan. Kesamaannya itulah yang menyebabkan masing-masing individu, yang pastinya berbeda, mau bergabung dan menjadi anggotanya. Kesamaan bisa disebabkan kepentingan yang sama, cita-cita, harapan dan satu tujuan.
Tujuan organisasi merupakan suatu harapan yang diinginkan dalam sebuah organisasi sesuai dengan misi dan visi pada organisasi tersebut demi kesejahteraan seluruh anggotanya.Setiap organisasi juga harus punya arah ,mau dibawa kemana organisasi ini ,dan juga harus punya visi dan misi.

                Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana organisasi harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diinginkan oleh organisasi.

Misi merupakan pernyataan yang menetapkan tujuan organisasi dan sasaran yang ingin dicapai. Pernyataan misi membawa organisasi kepada suatu fokus. Misi menjelaskan mengapa organisasi itu ada, apa yang dilakukannya, dan bagaimana melakukannya.
Suatu organisasi mempunyai arti penting dalam masyrakat , karena organisasi dapat membantu/mengajak masyarakat untuk lebih aktif dalam lingkungan & kehidupannya,organisasi bisa sebagai pendukung proses sosialisasi yang berjalan di sebuah lingkungan bermasyrakat ,yang paling utama organisasi merupakan tempat /wadah aspirasi dari seklompok individu yang berbeda beda
Pembahasan Masalah
Zakat memang digadang-gadang sebagai instrumen mengatasi kemiskinan yang melanda dunia. Keyakinan bahkan sejarah telah membuktikannya. Cita-cita ini memang bukan tanpa bukti. Berdasarkan data dari IDB (Islamic Development Bank) yang dilansir tahun 2010 ini potensi zakat mencapai 600 triliun per tahun. Hanya saja potensi ini belum bisa dioptimalkan. Harus ada langkah-langkah konkrit untuk mewujudkannya. Dalam acara World Zakat Forum yang digelar pada 29 September-1 Nopember 2010 yang dihelat di Yogyakarta banyak pemikiran segar muncul
Pertumbuhan organisasi pengelola zakat di berbagai belahan dunia kini semakin semarak. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas program zakat di berbagai negara, khususnya program yang bertujuan untuk membantu masyarakat miskin. Bukan hanya itu, bentuk aktifitas yang dilakukan organisasi pengelola zakat di dunia juga bermacam-macam, ada yang berkaitan dengan pengembangan pemikiran fikih zakat, dalam rangka respons terhadap perkembangan obyek zakat yang aktual, penyusunan program penyaluran zakat yang bermuara pada pengentasan kemiskinan di masing-masing negara, dan upaya kerjasama zakat yang kontinyu di antara organisasi pengelola zakat di dunia.
Hal mendesak yang perlu diselesaikan secara bersama oleh organisasi pengelola zakat di dunia adalah masih banyaknya persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Kelaparan, kurang gizi, anak putus sekolah juga masih banyak dihadapi oleh berbagai Negara muslim di dunia. Kondisi seperti ini membutuhkan keterlibatan semua pihak dalam mengatasinya. Dengan melibatkan semua pihak di berbagai organisasi zakat di dunia dirasa sangat efektif. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan saling tukar menukar informasi dan pola yang tepat dalam mengatasi kemiskinan di sebuah negara. Terlebih jika resources di satu negara lebih besar dan bisa membantu negara lainnya, maka pengentasan kemiskinan akan lebih efektif. Karena zakat diyakini sebagai salah satu instrument penting bagi pengentasan kemiskinan. Hanya saja, sangat dirasakan sekali bahwa keberadaan organisasi zakat di negara-negara muslim masih belum berfungsi optimal.
Kelemahan lainnya yang sangat dirasakan adalah belum kuatnya jaringan komunikasi dan kerjasama antar organisasi pengelola zakat di seluruh dunia. Masing-masing organisasi zakat berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada wadah di tingkat international yang bisa menjadi central pertemuan antar organisasi-organisasi zakat di dunia. Padahal yang namanya kerjasama internatisional dalam hal apapun sangat diperlukan. Jika kita lihat di sektor-sektor lainnya, kerjasama tingkat internasional sudah ada wadahnya. Di antara mereka sering mengadakan pertemuan secara reguler. Baik tahunan, dua tahunan maupun waktu regular yang disepakati. Sedangkan di lingkungan zakat tingkat dunia, sampai saat ini belum ada wadah yang bisa menaungi dan mengadakan pertemuan internasional secara reguler.
Berdasar atas kondisi di atas, maka tergeraklah para aktifis zakat di berbagai belahan dunia untuk membentuk wadah bersama antar organisasi pengelola zakat di dunia yang bernama “World Zakat Forum” (Forum Zakat Dunia). Ide ini pertama kali digulirkan oleh aktifis zakat Indonesia pada saat seminar zakat International di Malaysia. Lalu disambut baik oleh pegiat zakat dari Malaysia dan Singapura. Selang beberapa bulan, ide ini dilontarkan di tengah-tengah forum seminar zakat yang dihadiri beberapa perwakilan negara Islam di Indonesia. Pada saat itu, ide pendirian Forum Zakat Dunia juga disambut baik.
Tujuan dibentuknya Wolrd Zakat Forum (WZF) adalah ; menumbuhkan rasa persaudaraan di antara organisasi pelaku dan pemerhati zakat di seluruh dunia, membangun jejaring zakat di seluruh dunia, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman zakat di kalangan peserta untuk meningkatkan kualitas pengelolaan zakat, merumuskan model kerjasama pengelolaan zakat tingkat dunia, melakukan formulasi pendayagunaan zakat dalam meningkatkan kesejahteraan umat, melakukan formulasi pemanfaatan teknologi informasi dalam meneguhkan jejaring zakat internasional.
WZF yang digelar 29 September – 1 Oktober 2010 lalu di Yogyakarta cukup semarak. Diikuti oleh kurang lebih 291 peserta, baik dari badan amil zakat daerah, lembaga amil zakat di Indonesia dan juga lembaga-lembaga zakat serta para delegasi dari beberapa negara sahabat. Antusiasme peserta begitu tampak dari rangkaian acara mulai dari pembukaan hingga penutupan.
Menteri Agama Suryadharma Ali dalam sambutannya sangat mendukung digelarnya acara WZF. Menurutnya, konfrensi WZF tepat sekali dimanfaatkan oleh segenap pemangku (stake holders) untuk kepentingan perzakatan lintas negara sebagai ajang dari dialog antar lembaga, pembuat kebijakan praktisi zakat, akademisi, dan lain-lain yang memiliki keterpanggilan untuk membangun gerakan zakat yang berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin. Dia sangat optimis jika potensi zakat akan mampu mengentaskan kemiskinan. Tapi ada syaratnya. Syaratnya adalah pengelolaannya ditopang oleh regulasi yang kuat, sistem pengumpulan dan pendistribusian zakat yang tepat serta kesadaran umat yang terus dan mampu meningkatkan untuk menunaikan kewajiban zakat sesuai dengan ketentuan agama. ”Kita semua memiliki sudut pandang dan keyakinan yang sama bahwa potensi zakat dunia akan mampu mengatasi kemiskinan di negara-negara muslim,” tandas Menteri Agama Suryadharma Ali.
Optimisme Suryadharma memang bukan semata-mata pepesan kosong. Di hampir seluruh belahan dunai muslim, khususnya dalam rentang laporan tahunan 2010 kegiatan pembayaran zakat mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga 70 persen. Selain itu, berdasarkan penelitian dari IRTI-Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 2010 ini, dengan menggunakan perkiraan proporsi zakat atas Produk Domestic Bruta (PDB) setiap negara, maka diperkirakan potensi zakat dunia dalam setahun mencapai angka USD 600 milliar atau sekitar 600 triliun rupiah.
Besarnya Potensi Zakat
Sedang Didin Hafidudin Ketua Umum Baznas juga menyodorkan data yang tak kalah mencengangkan potensi zakat yang dimiliki oleh beberapa negara Islam di kawasan Timur Tengah. Di Saudi Arabia potensi aktualisasi dari zakat pada tahun 2009 mencapai 425 miliar yard atau 1000 triliun. Suatu angka yang sangat fantastis. Sementara data dari Kuwait sebesar 37 miliar yard. ”Dalam catatan sejarah keberhasilan zakat membuktikan perlu dilakukan kolabirasi yang kuat antara pengelola zakat yang amanah, amil zakat yang amanah dengan pemerintah. Itu yang tidak dapat dipisahkan,” kata Ketua Steering Committee Word Zakat Forum ini.
Akan tetapi menurut Arifin bin Mohammad Saleh dari IKAZ Malaysia masih ada beberapa faktor yang masih menjadi titik lemah yang harus dibenahi terkait pengeloaan zakat yaitu pertama, belum adanya kesepahaman dalam menentukan tolok ukur tentang kemiskinan. Padahal ini sangat penting karena golongan inilah yang akan dijadikan sebagai ’objek’ pendistribusian zakat. Saat ini ukuran miskin di negara muslim memiliki standar masing-masing. Nah, untuk menstandarkan ini dibutuhkan kesepakatan dan kesamaan cara pandang. Kedua, masih banyak kaum muslimin yang menyalurkan zakat terhadap lembaga-lembaga yang tidak formal bahkan tak terakreditasi sama sekali. Hal ini berimplikasi pada sulitnya mengukur keefektivitas-an penyaluran, pendistribusian, pelaporan maupun manfaat. Ketiga, zakat sebagai pengurang pajak di beberapa negara masih menjadi diskursus yang debatble, terus mengalami pro kontra. Pembahasan tentang hal ini memang butuh kajian terus menerus karena ada pihak-pihak yang mendukung, begitu juga tak sedikit yang kurang sejalan. Sebagaimana pajak, kelak zakat yang dipungut dari daerah akan dikembalikan kepada daerah itu sendiri. Hanya sedikit yang akan diberikan kepada pusat atau beberapa persen saja.
“IKAZ dan stakeholders di Malaysia sendiri sudah berupaya mengajukan permohonan kepada pihak kerajaan agar diberikan kemudahan kredit kepada pihak yang telah memberikan zakat, mudah-mudahan natinya Indonesia pun akan mengikuti,” jelasnya
Penguatan Layanan Sosial
Jika pemaparan di atas melihat potensi zakat di negara mayoritas berpenduduk yang memiliki iklim cukup kondusif maka lain halnya tantangan yang dihadapi di negara yang minoritas muslim. Ada perbedaan pola yang cukup mendasar. Di negeri seperti ini yang harus didorong tidak langsung secara eksplisit fundraising zakat tetapi bentuknya lebih soft yaitu berkaitan dengan layanan yang berbasis amal atau layanan-keuntungan yang menggunakan basis kegiatan sosial. Pasalnya ketika zakat ‘dilembagakan’ sering dianggap sebagai diskriminasi. Serangan semacam ini masih kerap sekali terjadi. “Oleh karenanya pengelola harus memiliki dan menjaga kredibilitas, transparansi dan akuntabilitas,” papar Mohammed Obaidullah Ekonom Senior IRTI (Islamic Research & Training Institute) Islamic Development Bank dalam paparan makalahnya.
Pada prinsipnya Obaidullah bersepakat dengan pemateri lainnya. Akan tetapi optimalisasi zakat sebagai instrumen pengentasan kemiskinan harus dikuatkan lagi. Apalagi jika menggunakan perspektif muamalat Islam, zakat harus selalu beriringan dengan kegiatan ekonomi yang meliputi segala aspek baik mikro maupun makro. Maka itu pengelolaan zakat juga harus dilakukan dengan baik dengan cara menggunakan standar pelaporan yang profesional. Sumber daya manusia (SDM) dalam lembaga tersebut juga harus terus-menerus di upgrade dengan diberikan pendidikan dan pelatihan secara berkala. Jika hal-hal semacam ini dilakukan akan sangat mudah membangun tata kelola dan networking global lembaga-lembaga zakat yang muaranya adalah memberantas kemiskinan secara bersama-sama.
Dan yang tak kalah penting pula dunia zakat juga harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi (TI) yang selalu mengalami perkembangan yang cepat. Kehadiran TI nyatatanya memang sangat membantu dalam menangani berbagai aspek kehidupan sehingga segala sesuatau bisa efesien, cepat, hemat dan akurat meski teknologi juga acapkali membawa ‘penyakit bawaan’ dan punya konsekwensi negatif. Setidaknya manfaat TI bagi duni perzakatan yang kini bisa dirasakan adalah transaksi donasi zakat yang sangat mudah dan simpel. Seperti bisa dengan menggunakan SMS, SMS banking, internet banking, ATM, kartu kredit dan sebagainya yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.
Pola Produktif
Pada level teknis, jika zakat hendak didorong untuk mengentaskan kemiskianan harus ada perhatian terhadap pola distribusi. Zakat harus lebih banyak porsinya utuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif. Di Indonesia sendiri pemikiran semacam ini sudah jauh-jauh hari dilontarkan oleh Syekh Arsyad Al-Banjari, bahwa fakir dan miskin yang tidak mampu berusaha itu diberi zakat untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka bukan diberi uang kontan untuk menutupi kebutuhannya, tetapi diberi sesuatu yang dapat menjamin kehidupannya. Misalnya, dibelikan kebun yang bisa disewakan atau diambil hasilnya. Atau bagi mereka yang bisa berusaha karena punya kepandaian atau ketrampilan, diberi zakat yang bisa digunakan untuk membeli alat yang diperlukan, dan bila tidak punya keterampilan maka ia diberi pelatihan-pelatihan. Sedangkan bagi mereka yang bisa berdagang, bisa berusaha maka ia diberi modal. “Ini pemikiran yang sangat cemerlang, tapi belum banyak dikembangkan,” kata Tulus Sekjen Dewan Zakat Mabims (Menter-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura).
Lebih jauh Tulus menawarkan tiga strategi agar manfaat zakat bisa benar-benar dirasakan mustahik dalam jangka waktu panjang (long time). Pertama, perlu adanya penguatan pendidikan dari kelompok yang berekonomi rendah. Sebab pada umumnya yang miskin itu adalah ekonomi rendah. Caranya dengan menyekolahkan, memberikan kesempatan pendidikan, beasiswa pada kelompok-kelompok fakir miskin, anak jalanan, atau membangun lembaga pendidikan di daerah-daerah yang membutuhkan. Kedua, setelah memberikan kesempatan mengenyam pendidikan, mereka yang lulus juga harus mendapatkan pemberdayaan berupa keterampilan agar tidak hanya menjadi pekerja tetapi entrepreneur-entrepreneur yang nantinya akan menciptakan peluang pekerjaan. Ketiga, dana zakat seharusnya juga ikut menjadi stimulan untuk menggerakkan usaha kecil. Sebab masalah yang selama ini menjadi kendala usaha kecil tidak berkembang adalah karena ketiadaan modal. Pola yang ketiga ini harus benar-benar perlu kajian terlebih dahulu sehingga nantinya tepat sasaran.
Untuk menciptakan sesuatau yang besar memang butuh visi dan progran yang konkrit agar benar-benar terarah. Dibentuknya World Zakat Forum sebagai wadah berkumpulnya organisasi zakat di dunia Islam merupakan langkah awal untuk mewujudkan kesejahteraan umat dan mengurangi kemiskinan di dunia. Indonesia sebagai penduduk muslim terbanyak dan ditunjuk sebagai kantor sekretariat World Zakat Forum, dengan dikomandani Didin Hafidhuddin sebagai Sekjend Pertama World Zakat Forum, sangat tepat untuk memulai gerakan menyejahterakan umat dan memerangi kemiskinan di dunia
Penutup dan Kesimpulan
                Dengan adanya TI lembaga zakat juga bisa membangun jejaring bersama. Tidak hanya dalam skala lokal tetapi juga regional (baca; kawasan) hingga antar benua. misalnya dengan membangun sinergi program atau bahkan basis data mustahik sehingga fenomena penumpukan bantuan di wilayah tertentu tidak terjadi seperti sekarang. Sebab kelemahan ketiadaan data base mustahik ini acapkali juga dimanfaatkan oleh segelintir oknum mengail keuntungan dengan meminta dana kepada lembaga-lembaga pengelola zakat. “Di bank ada data debitur maupun kreditur secara komplit. Masing-masing punya catatan baik maupun catatan buruk para banker sehingga mereka mudah diidentifikasi,” tukas Rahmat Kusumanto CEO Rumah Zakat. Rahmat yakin jika ini diseriusi gaungnya tak akan kalah dengan project Millenium Development Goals (MDGs) untuk menekan angka kemiskinan.
Berkenaan dengan kerjasama zakat lintas negara seharusnyalah dilakukan dalam bingkai peran pemerintah dan lembaga zakat. Dalam menghadapi tantangan dunia perzakatan dan tantangan global yang dihadapi umat Islam, potensi umat tidak akan maksimal dan teraktualisasi jika sudut pandang dualistik-dikhotomik antara pemerintah dan masyarakat seharusnya saling berkontribusi dalam mewarnai dan membayangi gerak aktivitas perzakatan. Maka dari itu keberadaan dan peran World Zakat Forum harus menghasilkan resolusi dan mempermanenkan sebagai wadah perhimpunan lembaga zakat antar-bangsa, yang memperhatikan kepentingan dan kemaslahatan umat dan negara sebagai dua sisi yang sulit dipisahkan. “Islam mengajarkan konsep berjamaah dan ber-imamah”, timpal Abdul Karim Direktur Pemberdayaan Zakat Kementerian Agama Republik Indonesia.